Menurut pendapat yang terpilih, seseorang boleh memejamkan mata ketika shalat, jika hal tersebut membuatnya semakin khusyuk. Akan tetapi yang lebih utama adalah memandang tempat sujud.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا، ِلأَنَّهُ يَجْمَعُ الْخُشُوْعُ وَيَمْنَعُ مِنْ إِرْسَالِ الْبَصَرِ وَتَفْرِيْقِ الذِّهْنِ. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ النَّبِيَّ إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ لَمْ يَنْظُرْ إِلاَّ إِلَى مَوْضِعِ سُجُوْدِهِ.
Menurut pendapat yang terpilih, memejamkan mata ketika shalat tidaklah makruh selama tidak menimbulkan mudharat. Karena, memejamkan mata akan memudahkan khusyuk, mencegah mata agar tidak liar dan menghindari terpecahnya konsentrasi. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dahulu Nabi saw jika memulai shalat, beliau hanya memandang tempat sujudnya.(Lihat Badruddin Al-‘Aini, ‘Umadtul Qari, Darul Fikr, Juz.5, Hal.308.)