Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan tato agar tidak terjadi salah pemahaman.
Ibnu Hajar Al-‘asqalânî dalam bukunya Fathul Bârî, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tato (wasym) menurut ahli bahasa adalah menusuk-nusuk anggota tubuh dengan jarum hingga berdarah, kemudian mengisi lubang di kulit tubuh tersebut dengan pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi kehijauan.(Lihat Ibnu Hajar Al-‘asqalânî, Fathul bari, Darul Fikr, juz.11, hal.567)
Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa tato yang dimaksud bukanlah menggambar anggota tubuh dengan zat pewarna alami yang tidak menghalangi sampainya air ke kulit, misalnya dengan inai, henna atau sejenisnya, akan tetapi tato adalah menggambar atau mengukir anggota tubuh dengan cara melukainya dengan jarum, kemudian memasukkan zat pewarna tersebut ke bawah kulit yang sudah dilukai dengan jarum. Tato semacam ini bersifat permanen.
Tato dalam arti seperti telah disebutkan di atas haram hukumnya menurut kesepakan ulama (ijmak). Dalilnya adalah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim berikut :
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ
Allâh melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaan Allâh.
(HR Muslim)
Lantas, bagaimanakah shalat orang yang bertato? Sahkah wudhu dan shalatnya?
Kalau kita cermati sebenarnya yang terjadi pada tato, tidak ada lapisan yang menghalangi sampainya air ke kulit. Sebab tato tidak berada di luar kulit, melainkan di dalam kulit. Berdasarkan hal ini, maka wudhu maupun mandi janabah seseorang yang bertato adalah sah.
Lalu bagaimana dengan shalat seorang yang bertato? Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tato adalah endapan darah di bawah kulit yang bercampur dengan tinta atau zat semisal yang dibentuk sesuai gambar atau tulisan tertentu. Darah yang bercampur dengan tinta dan mengendap di bawah kulit semacam ini hukumnya adalah najis. Sedangkan salah satu syarat sahnya shalat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat dari segala najis.
Orang yang bertato dengan sendirinya membawa najis yang melekat di tubuhnya secara permanen, ibarat anak kecil yang mengenakan popok bayi penuh dengan najis air seni. Dengan sendirinya, shalatnya tidak sah meskipun ia dalam keadaan berwudhu.
Lantas bagaimana solusinya bagi mereka yang sudah terlanjur bertato? Ibnu Hajar Al-‘asqalânî dalam bukunya Fathul Bârî, menjelaskan bahwa tempat yang ditato menjadi najis karena darahnya tertahan di kulit tersebut. Oleh karena itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya.(Ibnu Hajar Al-‘asqalânî, Fathul bari, Darul Fikr, juz.11, hal.567)