Oleh: Habib ‘Abdullah bin Husein bin Thohir
SAUDARAKU, ketahuilah, sesungguhnya kekasih kita Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi jawâmi’ul kalim[1]. Setiap kata yang diucapkan oleh Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam sarat dengan makna dan memiliki banyak pemahaman. Setiap orang memahami ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman dan cahaya yang diberikan Allâh kepadanya. Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.” (HR Abû Dâwûd)
Hadis di atas memiliki beberapa makna, di antaranya adalah:
Pertama, jika seorang Mukmin melihat berbagai akhlak mulia pada diri saudaranya, maka dia akan meneladaninya. Dan jika dia melihat berbagai sifat tercela dalam diri saudaranya, dan dia mengetahui bahwa dirinya memiliki keburukan yang sama, maka dia segera berusaha membersihkan dan menyingkirkan sifat-sifat tercela itu dari dirinya.
Kedua, ketika seorang Mukmin melihat sebuah sifat tercela pada diri saudaranya, maka dia segera memerintahkan dan meminta saudaranya itu untuk menghilangkannya. Dia menjadi cermin bagi saudaranya. Berkat nasihatnya saudaranya dapat melihat aibnya sendiri, seperti cermin yang menampakkan keburukan wajah seseorang.
Ketiga, seorang Mukmin akan memandang kaum Mukminin sesuai dengan keadaan hatinya. Jika hatinya baik, suci, jujur dan bersih dari berbagai sifat tercela, maka dalam pandangannya semua Mukmin adalah baik. Dia berprasangka baik kepada seluruh Mukmin dan sama sekali tidak akan berpikiran buruk kepada mereka. Kau akan melihat dia mudah tertipu oleh setiap orang yang berusaha menipunya dan membenarkan semua ucapan yang disampaikan kepadanya. Sebab, dalam pandangannya semua orang berakhlak mulia seperti dirinya. Ini adalah sebuah sifat mulia dan utama yang diberikan Allâh kepada banyak Mukmin.
Tetapi, yang lebih baik dan sempurna adalah seseorang yang mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya, baik atau pun buruk, saleh ataupun fasik.
Seorang yang berhati busuk dan bersifat buruk, wal ‘iyâ dzubillâh, maka keburukannya ini akan menjelma pada diri setiap orang yang dilihatnya. Setiap kali melihat seseorang dia akan berprasangka buruk kepadanya. Sebab, yang dia lihat adalah gambaran keburukan dirinya sendiri. Menurutnya semua orang seperti dirinya. Rasûlullâh saw bersabda:
“Jika seseorang berkata, ‘Manusia telah binasa,’ maka dialah yang paling binasa.” (HR Muslim, Abû Dâwûd, Ahmad dan Mâlik)
Seorang penyair berkata:
Jika perilaku seseorang buruk
Maka prasangkanya pun buruk
Dia wujudkan kebiasaannya dengan penuh keraguan
Dan memusuhi para pecintanya
karena ucapan musuhnya
akhirnya dia berada dalam keraguan
Seperti malam yang gelap gulita
Pernah seorang lelaki mengunjungi seorang saleh yang dikenal sebagai waliyullâh (orang yang dicintai Allâh) dan berkata kepadanya, “Wahai Tuan, aku bermimpi melihatmu dalam wujud seekor babi.” Sang wali rhm pun menjawab, “Babi itu adalah gambaran dirimu, bukan diriku. Ketika engkau menghadapiku, maka gambaran dirimu menjelma pada diriku. Ketika melihat babi itu engkau mengiranya sebagai diriku. Sesungguhnya itu adalah gambaran dirimu yang menjelma pada diriku. Andaikata engkau baik, maka engkau akan melihatku dalam wujud yang baik.”
Karena itu kami katakan bahwa setiap orang yang bermimpi melihat Rasûlullâh saw dalam wujud yang baik, maka itu adalah tanda bahwa dirinya baik. Tetapi, jika tidak demikian, maka itu adalah tanda bahwa dirinya memiliki kekurangan. Kami tidak mengatakan bahwa keterangan ini berlaku untuk semua orang. Keterangan ini hanya berlaku untuk orang yang penuh kekurangan ketika bermimpi atau bertemu dengan orang yang sempurna, setingkat dengannya atau orang yang tidak ia ketahui kedudukannya.
Pada umumnya apa yang dilihat oleh seseorang pada diri kaum Mukminin adalah gambaran keadaannya sendiri. Jika dia baik, maka dia akan melihat kebaikan dan jika dia buruk, maka dia akan melihat keburukan. Sedangkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan, seperti para Nabi as dan pewarisnya, dalam mimpi atau di luar mimpi, adalah keadaan yang sebenarnya dari orang yang mereka lihat. Sebab, gambaran diri orang-orang yang memiliki kesempurnaan tidak akan menjelma pada diri orang lain. Karena, orang lain memiliki hijab yang terlalu tebal. Tetapi, gambaran orang lain dapat menjelma pada diri mereka karena kejernihan hati mereka. Mereka dapat melihat orang lain sesuai keadaannya yang sebenarnya.
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allâh.” (HR Tirmidzî)
Keadaan seperti ini hanya khusus bagi ahlillâh. Hati-hati jangan tertipu, sebab itulah sumber keburukan.
Keempat, hati seorang Mukmin yang sempurna imannya akan menjadi tempat tajallî Allâh SWT Al-Mu`min. Sebab, Al-Mu`min adalah salah satu nama Allâh. Hati seorang Mukmin adalah tempat makrifat. Allâh SWT berkata dalam sebuah hadis qudsi:
“Bumi dan langit-Ku tidak akan mampu menampung-Ku, dan hati hamba-Ku yang berimanlah yang mampu menampung-Ku.” (Al-Hadis)
“Hati adalah rumah Allâh.” (Al-Hadis)
Arti kedua hadis ini adalah hati merupakan tempat bermakrifat kepada Allâh. Wallâhu Subhânahu wa Ta’âlâ a’lam.
[1] Jawâmi’ul kalim: kalimat yang singkat tetapi sarat dengan makna.